Rabu, 21 Maret 2012

TENTANG TAHLILAN


TAHLILAN
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah
acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah
orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat -
kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, asma’ul husna, shalawat dan lain -
lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya
saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah)
lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang
berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada
orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi
si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau yaasiin, atau dzikir, tahlil, atau shadaqah, atau qadha puasanya
dan lain - lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan nash yang jelas dalam Shahih Muslim
hadits No.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk ibunya yang telah wafat dan
diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa
“seorang sahabat meng-hajikan untuk ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah saw pun
menghadiahkan Sembelihan Beliau saw saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya,
“Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari
Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits No.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan
Jumhur (kesepakatan) ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi
mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i,
bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan
sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian
Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit,
tapi berikhtilaf adalah pada lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21
hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA
YANG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh
dengan ayat “DAN ORAN ORANG YANG BERIMAN YANG DIIKUTI KETURUNAN
MEREKA DENGAN KEIMANAN”.
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan Adam, maka terputuslah
amalnya terkecuali 3 (tiga), Shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang
berdoa untuknya, maka orang – orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas
– jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah saw menjelaskan terputusnya
amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai
hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Alqur’an untuk mendoakan orang yang telah
wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI
SAUDARA-SAUDARA KAMI YANG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”,
(QS. Al Hasyr : 10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam - Imam yang memungkirinya,
siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak
suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an,
dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa
mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Alqur’an dalam disket atau
CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat
azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat - buat untuk mempermudah muslimin
terutama yang awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir
Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau
sekumpulan kitab.
Bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ? Munculkan satu dalil yang mengharamkan
acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Alqur’an,
tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya
mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya. Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang
melarangnya, itu adalah Bid’ah Hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw,
justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa
ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan
pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?,
semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha
illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100
atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan komputer,
handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang
ada di masjid - masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat
dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya. Sebagaimana Rasul saw
meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan
orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa
as, dan Rasul saw bersabda : “Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau
saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits No.3726,
3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu
membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah Fatihah maka
ia membaca Al Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat Al Ikhlas
setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan
disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul
saw : “Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al
Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu
masuk sorga” (Shahih Bukhari).
Berkata Hujjatul islam Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy dalam kitabnya Fathul Baari Bisyarah
shahih Bukhari mensyarahkan makna hadits ini beliau berkata :
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْقُرْآنِ بِمَيْلِ النَّفْسِ إِلَيْهِ وَالِاسْتِكْثَارِ مِنْهُ وَلَا يُعَدُّ ذَلِكَ هِجْرَانًا
لِغَيرِْهِ

“pada riwayat ini menjadi dalil diperbolehkannya mengkhususkan sebagian surat
Alqur’an dengan keinginan diri padanya, dan memperbanyaknya dengan kemauan
sendiri, dan tidak bisa dikatakan bahwa perbuatan itu telah mengucilkan surat lainnya”
(Fathul Baari Bisyarah Shahih Bukhari Juz 3 hal 150 Bab Adzan)
Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tersebut dari ajaran Rasul saw, ia membuat
buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya
bahkan memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu
ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum
matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw
1. Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali
melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk
Rasulullah saw”.
2. Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy
Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk
Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku
khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh
amalku untuk Rasulullah saw”.
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang
dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
3. Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku
haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk
Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

2 komentar:

Saeful Rohman mengatakan...

owh... gitu ya.. berarti tahlilan bisa diartikan sebagai majelis dzikir,, berarti bukan perbuatan bid'ah... yang mnybtkn bid'ah mungkin ilmunya mash dangkal... thank's ilmunya!! sangat bermanfaat!!

Unknown mengatakan...

ya seperti itulah sbenarnya alsan knpa para ulama trdahulu mlakukan hal itu..akhir2 ini memang sudh bnyak org yang gampang mngatakan ini bid'ah, itu bid'ah,pdhal mreka blum tahu hakikat bid'ah itu apa..
saran saya,ttap ikuti ulama2 yg sjak dr kcil sllu mngjarkan kita mmbca al-qur'an dgn tulus..ulama yg jlas kualitas keilmuan dan akhlaqnya..
klau sya pribadi tntunya mmliki guru2 dri Nahdlatul Ulama, yg insya Allah mreka sfaham dngan kita..
wallahu a'lam..